FILOSOFI KOPI (COFFEE PHILOSOPHY)

" KOPI adalah minuman paling jujur "
"COFFEE is the most honest beverage"

WELCOME TO OUR BLOG. .

Selasa, 15 Mei 2012

Titik Janji

.


Sampai kapanpun, saya berjanji saya akan tetap setia. Seakan kotak Pandora, hati hanya akan rasa duka dan lara. Keraguan, kesulitan, dan kesakitan. Ke mana kaki harus melangkah? Masih adakah harapan?
    Hentakan kakinya beritme sedang, berjalan seakan meniti di atas benang, dengan kaki yang jenjang, tatapan mata tenang, sorot matanya melukiskan masa depan tanpa keraguan. Semua mata tertuju padanya, tak ada yang lain selain dia, pesonanya, kecantikan luar dan dalam. Kulit kuning mulus, bibir mungil cherry-nya, hidungnya yang terlukis dengan indah, mata bulatnya, jemarinya yang lentik lincah, tubuhnya bak boneka hidup, sempurna! Tak hentinya rekan yang duduk di sampingku berdecak kagum menikmati kemolekan tubuhnya. Memuji sempurna kecantikan fisiknya bak bidadari jatuh dari langit, mungkin jika kau melihat kecantikannya yang tanpa celah, kau akan kehabisan kata-kata, dan hanya sanggup berkata "sempurna" dengan sesak mencari ruang untuk bernafas.
    Meskipun beribu lelaki memujanya lantaran kecantikannya yang memang bisa dibilang luar biasa, mengelu-elukan kesempurnaannya yang spesial, tapi bagiku dia bukan apa-apa. Dia manusia biasa, tapi dia berbeda! itu saja. Setiap mendengar langkah kakinya,  jantung ini seakan berdegup dua kali lebih cepat, jika perlu sampai berkontraksi empat kali lebih hebat. Jika mendengar renyah tawanya, otot reseptor sekitar tengkukku rasanya meremang. Jika terselip sedikit saja senyum dari bibir mungilnya, rasanya aku terbang ke surga. Aku hafal ritme langkah kakinya, aku hafal nada riuh tawanya, aku hafal setiap desibel suaranya, aku hafal setiap tanggal penting dalam hidupnya, aku hafal apa saja yang dia sukai ataupun tidak, aku hafal merek parfumnya, aku hafal dimana alamat rumahnya, aku hafal ukuran sepatu dan pakaiannya, aku hafal semua yang bisa kuketahui, segalanya tentang dia, karena aku telah jatuh pada pesonanya, jatuh hati kepadanya, jatuh pada pandang pertama. Setetes madu dalam secawan racun di sebuah musim hujan di usiaku yang ke-16.
    Tapi semuanya hanya hayalan dalam diam, harapan yang harus terkubur dalam-dalam, karena aku tahu, aku bukan siapapun dan tak pantas jadi apapun dalam hidupnya. Aku tahu, dia mungkin tak mengenal namaku, aku tahu, dia mungkin tak pernah memperhatikanku saat diam-diam aku menyelinap mengikutinya dari belakang, aku tahu, dia tak tahu apapun tentang aku sementara aku berusaha untuk tahu apapun tentang dia, aku tahu dan aku mengerti. Biarlah, biarkan rasa ini mengalir mengikuti arus waktu. Meskipun dia tak bisa merasakan getaran rasa yang telah menjadi goncangan yang memporak-porandakan seluruh isi hatiku, bagiku tak masalah. Sampai kapanpun, selama otot-otot jantungku masih sanggup berkontraksi dan kantung paruku masih bekerja, aku akan tetap setia, tanpa tapi. Aku benar-benar tulus padanya, tanpa harus ada alasan pasti. Sampai kapanpun.
    Hingga bertahun-tahun berikutnya, untaian kasih yang kurajut sendiri terasa semakin kuat. Aku tetap bertahan pada rasa satu hati yang memuja sesuatu yang tidak pasti. Tenggelam lebih jauh ke dalam kubangan esensi, yang melahirkan lebih banyak sensasi sakit hati. Ditemani duri dan luka yang sewaktu-waktu bisa datang membawa kabar duka kiriman merpati. Biarkanlah, biarkan saja. Biarkan rasa ini tetap menjadi milikku yang kubawa sampai mati. Toh, aku sudah berjanji. Aku akan tetap setia padanya sampai nanti.
    Suatu malam aku bermimpi, tentang dia sekali lagi. Dia berbaring di sisi ranjangku, rebahkan tubuhnya menghadap ke arahku. Bibir merah mungilnya menyunggingkan senyuman seduktif penuh arti. Jemari lentiknya bergerak, bermain di setiap lekuk-lekuk wajahku sampai akhirnya berhenti di cuping hidungku, dia meniup mata kiriku.
    "Sayang, bangunlah sayang, jangan tunggu sampai pagi menjelang sayang. ." bisiknya menaikkan gairahku. Kugapai tubuhnya agar lebih dekat denganku, kuciumi keningnya tak ingin dia menghilang dimakan waktu.
    "Sayang, jangan pergi sayang, aku membutuhkanmu . ."
    Tapi aku dibodohi angan, otak sadarku anehnya masih bekerja di saat tubuhku menggigil ingin kembali meraihnya. Dalam sekejap hilang sudah semuanya, tak ada arti lagi bagi sebutan sayang, tak ada makna lagi untuk setiap sentuhannya. Frustasi rasanya kenapa semuanya harus berhenti di saat yang tidak tepat. Tapi biarkan, biarlah saja. Lebih baik otak sadarku terus bekerja daripada hanya kungkungan rasa yang membolak-balikkan perasaan serta pikiranku. Kurelakan dia hanya menjadi bunga tidurku, pendamping hidupku dalam angan.
    Waktu berdetak tak berhenti tiktoknya dan bumi ini berputar tak berhenti lajunya. Dan rasaku sendiri tidak pernah berhenti  untuk beristirahat, meskipun pernah sesekali aku merasa lelah, merasa ditipu, dan dibodohi, dibohongi habis-habisan oleh perasaanku sendiri padanya, sayangnya janjiku pada diriku sendiri kembali terngiang untuk mengingatkanku pada rasa yang tak boleh padam. Seakan aku telah berjanji sehidup semati untuk tetap setia padanya, meskipun dia bermain dengan banyak yang lain. Biarkan, biarkan sajalah. . . Aku ikhlas tetap bertahan untukmu, sayang. .
    Karena tuntutan masa, pola pikir serta cara hidupku mulai berubah sepersekian dari tiap lajunya, belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan berpikiran rasional layaknya orang yang usianya setara denganku. Tapi kisah kasihku untuknya tak akan berhenti meskipun zaman menuntut demikian. Janjiku tak akan lekang oleh waktu. Waktu.
    Eksistensinya semakin lama semakin menyeruak, sekarang, siapa yang tak mengenal sosok sempurnanya. Kecantikan dan kepeduliannya, semakin memancarkan pesonanya luar-dalam. Kecakapannya dalam melakukan banyak hal, membuatnya menjadi pujaan banyak lelaki. Kecerdasan pola pikirnya, membuatnya dinobatkan sebagai satu-satunya pilihan untuk menjadi calon istri. Kepiawaiannya menarik hati seseorang, memberinya penghargaan dalam gunjingan ibu-ibu untuk menjadikannya menantu. Semuanya sempurna ada padanya, semuanya.
    Tapi di dasar hati kecil ini tak ada sedikitpun rasa iri maupun cemburu, pada pria yang sanggup membelikannya ini-itu ataupun pada lelaki yang mampu menggandeng tangannya mesra, menariknya dalam dekap lantai dansa. Aku tidak cemburu. Cukup, biarkan, biarlah saja, biar rasa ini aku yang memiliki, rasa yang hanya mampu terpendam dalam hati tanpa harus dideklarasi. Aku tetap setia, tulus padanya sampai nanti.
    Kini usiaku tak muda lagi, sudah waktunya untukku pergi ke perantauan, mencari hidup bersama teman seperjuangan. Akankah aku meninggalkannya? TIDAK. Justru aku akan lebih dekat dengannya, kami akan berkelana ke kota besar. Menuju pusat denyut perekonomian negri. Menjajal ini-itu untuk meraih kebutuhan jasmani, walau kebutuhan rohaniku tentangnya tak akan terwujud.
    Gadis manisku telah menjadi seorang wanita yang cantik. Tetap bertahan dengan sorot mata yang tak sedikitpun menampakkan keraguan, langkah kakinya makin mantap melangkah menuju pembaharuan. Syukurlah, dia tetap hidup di tiap-tiap pola dari garisku dan namanya mendengung di tiap-tiap nafas yang terhembus.
    Di suatu ketika, dalam jamuan makan bersama rekan lama di atas sebuah meja panjang. Seorang kawan dengan sengaja menyebut namanya dan menyenggol lenganku hingga semangkuk sup jagung di depanku berubah warna menjadi hitam tercampur dengan kental kopi. Kerongkonganku rasanya tercekat dan sesakku mencari-cari udaranya. Hebatnya, semua yang hadir dalam jamuan itu tertawa terjungkal-jungkal melihatku bernasib sial hanya karena grogi.
    "Satya. . satya. . kamu tak berubah. Masih saja wanita itu yang ada di otakmu, jangan mimpi kamu, sat. . ." gelak seorang kawanku di antara tawanya. Aku hanya bisa membalasnya dengan tawa kucing kecil menyembunyikan air muka yang memanas.
    "Kamu belum dengar kabar terbarunya bro?" hemm? Dengan refleks tulang-tulang leher ini berputar arah. "Kabar?" kumiringkan kepalaku ingin tahu.
"Dia sudah tunangan sejak 3 bulan yang lalu, 3 hari lagi dia akan menikah dengan seorang pengusaha muda", masih dalam tawa salah seorang dari mereka memberi pernyataan.
    Seakan dihujani beribu belati, tanggul mataku inginnya berkristal saja, rasa yang makin meronta, melolong bagai serigala, rasa yang akhirnya berterbangan bak daun gugur dari dahannya, apa? Apa lagi yang harus kulakukan? Aku tak melakukan apapun sedari dulu bukan? "Iyakah? Selamatlah untuknya, semoga dia bahagia", itu saja yang bisa kukatakan di antara tawa mereka. Cinta memang tak berlangsung selamanya, dia hanya bertahan, sampai kita tahu kalau kita telah sakit karenanya.
    Seketika tawa mereka luruh, senyap menggegap. Jemari salah satu dari mereka terulur menghapus kristal-kristal pesakitan yang mengalir dari mataku. Inginnya tak berada di sini saja, inginnya aku pergi dan berlari sekencang-kencangnya saja, inginnya aku bersembunyi di sudut kamarku saja, inginnya aku hanya ingin pulang dan kembali bermain-main dengan fantasi bersama dirinya.
    "Sat, maaf. . . kau ingin pulang?" Audrey, satu-satunya yang mengerti tentang aku dan fantasi liarku dengan dirinya. Aku hanya bisa menggeleng lemah, kupaksakan tersenyum dengan mata berkaca-kaca ke arah mereka, "lanjutkan saja, maaf jika aku merusak suasana, aku harus keluar sebentar."
    Langkahku goyah menjauh dari meja makan, pandanganku berputar, kabur, berkunang-kunang, menjauh, berkabut, hilang. . . "Hati-hati kalau jalan" , dengan sigap, gadis manis itu menopang tubuhku lemas. Audrey.
    Kami terduduk di teras depan menghadap ke taman mengadu pada bulan dan bintang yang syukurnya tidak tampak karena tiba-tiba langit jadi ikut mendung mendengar kabar duka dari meja makan. Kepalaku bersandar di bahunya, lucu mungkin kelihatannya, saat seharusnya seorang lelaki ada untuk wanitanya menangis, aku melakukan hal yang sebaliknya, hal yang seharusnya tidak boleh terjadi.
    "Tenanglah tenang Satya, masih ada Audrey di sini, semuanya akan baik-baik saja. ." , tangan kecilnya menepuk pelan punggungku, mulai bersiul mencari ketenangan malam, "apa yang Satya pikirkan sekarang?"
    "Hemm? Apa yang bisa kulakukan sekarang dan seterusnya? Tanpa. .", telunjuknya mengatupkan suaraku, "jangan dilanjutkan, akan sakit rasanya, Audrey tahu dan Audrey mengerti." Dia tahu apapun tentangku, perasaanku.
    Posisi kami berubah, sekarang di bangku teras ini, mata kami bertemu dan saling berhadapan. "pendamping hidup?" tambah gadis di depanku dengan hati-hati. "Ya", hanya itu yang bisa kujawab. Jemari kecilnya menelisik, bertaut dengan jari-jariku, menggenggamnya dengan erat.
    "Audrey ingin Satya tetap baik-baik saja sampai seterusnya, dan Audrey akan berusaha sembuhkan hati Satya," pandangannya seolah menghujam lembut mataku. Genggamannya makin erat, "menikahlah dengan Audrey."
    "Apa yang kau katakan?" gadis ini hanya diam, bibirnya menyunggingkan senyuman skeptis, APA YANG TELAH DIA KATAKAN !
    "menikahlah. . dengan. .ku, Audrey berjanji akan sembuhkan luka di sini. ." dengan tangan gemetar, disentuhnya dadaku dengan hati-hati, pandangannya jatuh, ia tak berani lagi menatap mataku. Tuhan, apa-apaan ini?? Kenapa jadinya seperti ini?? Apa ini? Apa kau telah bercanda denganku??
    "Audrey, tatap mata Satya. ." kusentuh dagunya, bibirnya bergetar, menggigil. Kenapa sekarang malah sebaliknya? Kenapa malah dia yang rapuh sekarang? "Kau tidak sedang bercanda kan? Kau serius?", kucari-cari di bola matanya, kesungguhan yang sesungguhnya. Ditegakkannya kepalanya, tersenyum dia dengan harapan penuh.
"Jangan pernah lupakan Jadine, seorang Jadine Caerina harus tetap ada di sini. .", Audrey kembali menepuk pelan dadaku, mendengar nama itu disebut, rasanya ada yang dicongkel dari luka-luka dalam hati ini, "Audrey hanya akan menjadi bagian dari hidup Satya, bukan seluruh dari hati Satya, Audrey hanya akan ada di sisi Satya, untuk melengkapi bagian-bagian yang hilang dari hidup Satya, untuk menopang Satya di saat Satya merasa seperti sekarang, percayalah pada Audrey, Audrey akan melakukan apapun untuk Satya, karena Audrey sayang Satya. .", dileburnya tubuhnya dengan tubuhku, pelukan terhangat yang pernah kudapatkan, kasih sayang yang tulus.
Kenapa dia merelakan seluruh hidupnya bahkan hatinya hanya untukku? Kenapa Audrey melakukan ini semua untukku? Apa yang telah dia lakukan? Lalu gadisku? Wanitaku? Jadine Caerina-ku? Terima kasih, kau telah mengenalkanku pada cinta yang sesungguhnya, yang hanya memberiku harapan kosong dan rasa sakit. Sejak taman kanak-kanak saat kita sebangku dulu, saat sekolah dasar kita sekelas dulu, sampai sekolah menengah saat kita satu sekolah dulu, dan sampai sekarang dan selamanya. Terima kasih, sayangku. Jadine Caerina. Janji seorang pria tak kan kuingkari.
Di sudut senja, bersama jingga dan secangkir teh, serta wanita ini, Audrey, di pernikahan kami yang menginjak bulan ke 3, dan di beranda rumah baru kami, di atas sofa gantung berwarna marun. Dia tetap mendengarkanku, Audrey-ku yang terlalu baik untuk dimiliki pria cengeng sepertiku, dia tetap setia mendengarkan setiap bait dari kisahku, tanpa respon kasihan yang jelas akan menunjukkan kelemahanku, dia selalu tahu apa yang aku butuhkan. Meskipun dia juga tahu, hati ini masih sepenuhnya milik seorang Jadine Caerina yang telah menjadi milik pria lain yang lebih-lebih sekali dariku.
"Sayang, aku belum baca koran hari ini, bisa tolong ambilkan?" dengan kedipan menggoda bergeraklah kakinya dengan tawa yang tak ada habisnya. "Ini sayang. ." diangsurkannya koran langganan hari ini padaku. Audrey duduk di sisiku menggelayut manja di bahuku, bersama kami membuka berita utama koran pagi itu.
DIAM. Semuanya tepat berhenti pada waktunya. Tak perlu lakukan apapun lagi, semuanya sia-sia. Mati.
"AKTRIS SENIOR, JADINE CAERINA, TEWAS DITEMBAK SUAMINYA"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar